Ekspresi wajah Riko tampak berubah ketika ia mengamati bungkusan obat yang baru diterimanya dari petugas apotek. Di antara tiga jenis obat yang diresepkan dokter, ada satu yang labelnya bertuliskan perintah: habiskan!
“Ini antibiotik ya, Mbak?” tanya Riko, yang dijawab dengan anggukan petugas apotek itu. Kontan saja Riko lemas.
Jauh di dalam hatinya, Riko sebenarnya malas mengonsumsi obat secara gegabah, apalagi antibiotik. Tapi, kali itu ia merasa tidak berdaya lantaran punya rencana pergi ke luar kota esok harinya. Diare yang sudah dua hari dideritanya, dikhawatirkan malah akan mengganggu perjalanan.
Mendengar curhat temannya, Kunto membenarkan kekhawatiran Riko. Antibiotik memang sebaiknya tidak dikonsumsi sembarangan pada saat sedang menderita diare. “Obat diare itu rehidrasi. Minum cairan pengganti yang hilang, kayak oralit,” tutur pria yang hobi mengikuti informasi kesehatan dari media massa itu.
Kunto menambahkan, diare justru bisa diatasi dengan probiotik atau makanan penambah mikroflora usus. Sebab, penyakit rajin ke belakang itu terjadi karena terjadi ketidakseimbangan antara bakteri merugikan dan bakteri menguntungkan di dalam usus. “Antibiotik malah akan membabat semua bakteri di dalam usus,” jelasnya.
Fiuuuh! Riko yang tidak paham istilah-istilah kesehatan cuma bisa bengong mendengarnya. Tubuh sudah lemas gara-gara diare, sekarang mesti pusing pula gara-gara antibiotik dan probiotik. “Capek deh!” katanya sambil mengusap dahi.
Sekilo bakteri
Dr. Rina Agustina, peneliti di SEAMEO-Tropmed, Pusat Kajian Gizi Regional Universitas Indonesia, membenarkan kata-kata Kunto, walau penjelasannya tidak sesederhana itu. “Pada diare WHO memang menyarankan menggantikan cairan dan elektrolit yang hilang dengan cara menambah masukan cairan, terutama yang mengandung natrium dan kalium,” jelasnya.
Kalau soal probiotik, Rina melanjutkan, ada sejumlah penelitian yang menyatakan bahwa mengonsumsi bakteri menguntungkan seperti Lactobacillus atau Bifidobacterium strain tertentu terbukti bisa menghambat ulah bakteri merugikan penyebab diare. Juga dapat memperpendek durasi diare, dari 3,5 menjadi 2,5 hari pada anak yang dirawat atau diobati di rumah.
Akan tetapi, tunggu! Sebaiknya jangan main glek probiotik begitu saja. “Tergantung juga apa penyebab diarenya,” tegas Rina. Probiotik bisa dikonsumsi pada diare yang disebabkan rotavirus yang biasa terjadi pada anak-anak, atau diare yang disebabkan antibiotik. “Pada kasus diare invasif seperti disentri dan kolera, antibotik tetap digunakan,” tambahnya mewanti-wanti.
Berawal dari diare, biasanya orang akan langsung teringat masalah bakteri menguntungkan (probiotik) dan bakteri merugikan (patogen). Anda juga pasti pernah sesekali mendengar tentang kedua bakteri itu dari media massa atau lewat iklan di televisi. Tapi, pernahkah terbayang seperti apa bentuk dan berapa jumlahnya?
Mungkin agak mengerikan kalau diceritakan kalau di dalam tubuh kita terdapat ratusan jenis bakteri. Jumlahnya bisa mencapai seratus triliun dengan berat total bisa mencapai 1 kg pada pria dan 0,8 kg pada wanita. Ingat, ini manusia normal lo!
Dari sekiloan bakteri itu, ada golongan bakteri menguntungkan, atau tepatnya bakteri menguntungkan, seperti Lactobacillus, Bifidobacterium, atau Eubacterium. Ada juga jenis bakteri merugikan, seperti Rotavirus, Clostrodium difficile, atau Shigella. Namun, sebenarnya ada juga bakteri yang berada di wilayah abu-abu atau kita sebut saja sebagai bakteri oportunistik, seperti E-coli dan Streptococcus.
Disebut bakteri menguntungkan karena keberadaannya banyak membantu kehidupan kita, terutama masalah pencernaan. Meski sebenarnya banyak manfaat spesifik lain seperti mengurangi kadar kolesterol pada makanan atau memperbaiki rasio LDL (kolesterol merugikan) dan HDL (kolesterol bermanfaat) dalam tubuh. Jenis bakteri menguntungkan yang memenuhi dinding usus juga akan membuat bakteri tidak menguntungkan penyebab penyakit (patogen) sulit berkembang biak.
Di dalam usus, antara geng bakteri menguntungkan dan geng bakteri merugikan selalu hidup berdampingan, tapi tidak secara damai. Diam-diam keduanya terus berkelahi untuk saling berebut pengaruh dan daerah kekuasaan dalam sistem pencernaan. Perang ini terjadi setiap saat.
Pertempuran antarbakteri erat kaitannya dengan kondisi kesehatan si empunya tubuh. Artinya, jika suatu kali kelompok yang merugikan kebetulan menang, akibatnya bakteri penyebab penyakit (patogen) merajalela. Misalnya, kalau suatu kali Clostrodium ternyata berjaya, pemilik tubuh akan mengalami diare. Persis seperti yang dialami Riko.
Manajemen keseimbangan mikroflora usus sebenarnya bukan cuma untuk urusan kesehatan pencernaan. Dengan bakteri menguntungkan yang dominan, kita juga bisa meningkatkan kekebalan tubuh, mengatasi insomnia, mengendalikan stres di kala sakit, termasuk juga mengurangi risiko kanker.
Harus tetap hidup
Secara teoritis kita dapat meningkatkan jumlah bakteri menguntungkan di dalam usus dengan cara mengonsumsi makanan yang mengandung probiotik. Contohnya seperti susu fermentasi, keju, mentega, atau susu formula yang difortifikasi (diperkaya) asam laktat. Kini juga banyak ditawarkan suplemen probiotik yang berbentuk kapsul. Dengan berbagai klaim kesehatan, probiotik jadi memang semakin ngetren belakangan ini.
Di dalam usus, probiotik yang dikonsumsi akan membentuk koloni-koloni baru untuk memperkuat barisan bakteri menguntungkan yang sudah ada sebelumnya. Dua pasukan bakteri paling terkenal misalnya kelompok Lactobacillus yang bersiaga di usus halus dan kelompok Bifidobacterium di usus besar. Menambah kekuatan dua kelompok ini saja diyakini bisa memberi efek kesehatan pada kita.
Masalahnya, belum banyak yang tahu bahwa mengonsumsi probiotik ternyata banyak syaratnya. Yang utama, bakteri menguntungkan itu harus sampai di usus dalam keadaan hidup. Jika sudah mati atau bakterinya banyak berkurang, itu sama saja bohong.
Menjamin bakteri masih hidup dalam waktu tertentu ternyata bukan perkara gampang. Terutama kalau berasal dari produk susu fermentasi. Sebab, bakteri mudah mati akibat suhu panas, susu harus selalu berada dalam lemari pendingin, mulai dari pabriknya sampai ke tangan konsumen. Jika rasanya sudah terlalu masam, berarti bakterinya sudah mati.
Dosis harian yang efektif untuk keperluan terapi, menurut Rina, berkisar antara 106 – 1010 cfu (cfu = coloni forming unit). Jika bentuknya susu, dosisnya 109 cfu per hari atau 107 jika dikonsumsi sebanyak 100 g atau 100 mg. Angka-angka itu mungkin akan sangat sulit dimengerti awam. Tapi yang tidak boleh dilupakan, probiotik harus dikonsumsi terus-menerus agar membawa pengaruh pada kesehatan.
Cara lain untuk membantu pasukan bakteri menguntungkan adalah dengan cara mengonsumsi prebiotik. Pengertian gampangnya, prebiotik itu makanan bagi bakteri menguntungkan yang dapat membuat mereka berkembang biak. Anehnya, bakteri merugikan malah tidak menyukainya.
Rina mengibaratkan probiotik dan prebiotik sebagai rekan kerja yang saling menguntungkan. Jika probiotik meningkatkan populasi bakteri dari luar, maka prebiotik merangsang pertumbuhan dari dalam. “Prebiotik tidak bisa dicerna di usus halus dan ahirnya mengumpul di usus besar. Nah, ini menguntungkan sekali buat Bifidobacterium yang banyak terdapat di sana,” jelasnya.
Dalam makanan yang biasa kita konsumsi sehari-hari, pasokan prebiotik bisa ditemukan pada berbagai biji-bijian, sayuran, dan buah-buahan. Misalnya gandum, bawang bombai, bawang putih, pisang, serta produk olahan kedelai, seperti tempe, tahu, dan tauco.
Jadi, ayo menangkan peperangan bakteri dalam tubuh kita, dengan mengkonsumsi probiotik dan prebiotik secara teratur.
No comments:
Post a Comment