Friday, July 12, 2013

TUMBUH BERSAMA CINTA IBU

Pernahkah kita berpikir, bagaimana bayi yang sangat lemah dan tidak dapat berbuat apa-apa tumbuh menjadi seorang anak yang lucu, kemudian menjadi sosok dewasa yang kuat, dinamis, dan penuh vitalitas? Siapakah yang menjadikannya seperti itu? Dirinya sendiri? Orang-orang di sekitarnya? Atau, siapa?

Tampaknya tidak mungkin seorang bayi atau anak kecil bisa mengurus diri sendiri. Harus ada satu mekanisme agung yang menjadikannya mampu bertahan hidup dan mengoptimalkan segala potensi dalam dirinya. Sang Pencipta telah menciptakan mekanisme tersebut. Dia telah menanamkan kasih sayang dalam diri orang-orang di sekitar si anak, terutama ibu dan bapaknya. Mereka adalah wakil Allah di muka bumi, yang diberi amanah untuk memelihara dan mengasihi sosok manusia kecil yang lemah itu.
Allah ‘Azza wa Jalla telah “menyimpan” sedikit pancaran sifat rahman dan rahim-Nya di dalam hati seorang ibu. Dengan sepercik kasih sayang itulah berbagai keajaiban terjadi. Kisah-kisah heroik datang silih berganti. Seorang ibu rela bersusah payah selama sembilan bulan mengandung anaknya. Ia pun harus menanggung rasa sakit yang tidak terperikan saat melahirkan. Perjuangannya adalah antara hidup dan mati. Setelah itu, dengan telaten ia menyusui serta merawat bayinya hingga tumbuh menjadi anak-anak, remaja, lalu dewasa.
Rangkaian proses ini sangat berat untuk dijalani. Namun senyum bahagia senantiasa tersungging di bibirnya. Mengapa demikian? Seorang ibu tidak mungkin rela menjalani proses seperti itu andaikan Yang Mahakuasa tidak memercikkan “sedikit saja” kasih sayang-Nya ke dalam hatinya.
Apabila kita teliti lebih dalam, cinta dan kasih sayang ibu kepada anaknya sebetulnya lahir dan direalisasikan oleh hadirnya trio hormon ajaib. Pakar ginekologi asal Amerika Serikat, Michel Odent, menamai hormon-hormon tersebut sebagai “love hormone” atau “hormon cinta”, yang terdiri atas oksitosin, endorfin, dan prolaktin. Ketiganya bekerja sama dan saling melengkapi satu sama lain sehingga muncul serangkaian “keajaiban” dalam hubungan ibu dan anak.
Oksitosin sering disebut sebagai hormon ajaib. Hormon ini dihasilkan oleh kelenjar hipotalamus yang terdapat di otak ibu. Hipotalamus sendiri memiliki kemampuan untuk mengontrol reaksi biologis dalam tubuh seperti rasa lapar, haus, naik turunnya temperatur tubuh, dan dinamika emosi manusia seperti rasa takut, marah, sedih, atau bahagia. Oksitosin juga mampu merangsang produksi susu dan menghadirkan pleasure feeling atau perasaan nikmat ketika suami-istri berhubungan intim.
Oksitosin semakin aktif diproduksi sejak seorang ibu mulai mengandung. Kadarnya mencapai puncak ketika terjadi proses persalinan yang bersifat alami. Ketika itu oksitosin akan dilepaskan oleh otak, terutama setelah terjadinya proses pelebaran serviks dan vagina yang berfungsi untuk memfasilitasi proses persalinan. Oksitosin akan memicu terjadinya kontraksi rahim selama persalinan. Pada saat bersamaan, oksitosin akan masuk ke tubuh bayi melalui plasenta yang jumlahnya akan terus meningkat sampai si jabang bayi dilahirkan.
Setelah itu tubuh ibu dan bayi akan mengeluarkan hormon endorfin secara bersamaan. Kadar endorfin akan terus meningkat pada masa akhir persalinan. Hormon ini berperan penting untuk meredam rasa sakit akibat reaksi dari kontraksi yang muncul dan luka pada vagina ibu –atau perut apabila menggunakan operasi caesar— selepas persalinan. Endorfin sangat berperan dalam menciptakan rasa ketergantungan dan jalinan emosional antara ibu dan bayinya. Hormon cinta ini terus-menerus diproduksi sampai beberapa waktu setelah persalinan. Itulah sebabnya rasa sakit yang dirasakan ibu ketika melahirkan seakan hilang dan berganti dengan rasa bahagia saat melihat buah hati lahir dengan selamat.
Setelah jabang bayi keluar dari kandungan, terjadi “kerjasama” antara oksitosin dengan hormon cinta yang ketiga, prolaktin. Jika prolaktin bertugas memproduksi susu dan distimulasi oleh isapan bayi pada puting ibunya, oksitosinlah yang bertugas merangsang kelenjar susu (mammary glands) yang ada pada diri si ibu. Akhirnya ASI pun “diturunkan” dari tempat penampungannya sehingga bisa diisap lewat puting (nipple).
Meskipun bayi memproduksi oksitosin sendiri pada saat menyusu, sang ibu juga mentransfer oksitosin pada bayi melalui ASI-nya. Kadar oksitosin ini akan tetap berada pada level tertinggi jika si ibu secara intens menyusui dan memeluk bayinya. Jumlah oksitosin yang diproduksi tergantung pada intensitas kontak antara ibu dan bayinya. Karena itulah level oksitosin yang diproduksi oleh ibu menyusui jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Kondisi hormonal inilah yang menimbulkan perasaan tenang dan bahagia.

Kerjasama di antara ketiga hormon cinta, yaitu oksitosin, endorfin, dan prolaktin telah melahirkan sifat-sifat dasar keibuan dalam diri seorang wanita. Dr. Kartini Kartono dalam buku Psikologi Wanita: Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek (1992: 196-197) menyebutnya sebagai “elemen keibuan sejati” yang terdiri atas empat sikap, yaitu altruisme (senantiasa mendahulukan kepentingan bayinya daripada dirinya sendiri), kelembutan, kasih sayang, dan aktivitas (amal nyata) untuk mengurus serta membesarkan si jabang bayi.
Keempat elemen ini melahirkan semacam iklim psikis yang khas dari sifat keibuan. Altruisme keibuan akan mendorong seorang wanita untuk tidak mementingkan dirinya sendiri, tidak egois, dan senantiasa bersedia mengorbankan segala sesuatu –termasuk diri dan nyawanya— demi kelestarian dan kebahagiaan buah hatinya. Secara umum, esensi cinta kasih keibuan ini dapat dilihat dari sifat-sifat: tidak pernah menuntut apapun dari pengorbanan yang telah diberikan, adanya kesediaan untuk berkorban, keinginan yang menggebu untuk memberikan cinta kasih yang tulus dan terus-menerus kepada buah hatinya.
Inilah alasan mengapa seorang ibu akan merasakan sayang kepada bayi yang baru dilahirkannya. Allah SWT telah merancang seluruh mekanisme ini agar sang bayi dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik maupun psikis.
--Disadur dan diadaptasi dari tulisan Tauhid Nur Azhar dalam buku Misteri Laskar Imun.

No comments:

Post a Comment